Keadilan yang terdunda di Pinrang
Perjalanan Negeri ini telah lebih setengah abad yang diiringi dengan pembangunan karya anak bangsa. Enam puluh tahun lebih usia Bangsa Indonesia Saat ini dengan enam presiden, mulai dari Soekarno, Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid dan yang saat ini Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam kepemimpinan keenamnya menghadirkan gaya berbeda-beda tapi satu tujuan mensejahterakan seluruh Rakyat Indonesia.
Hari ini Selasa, 7 Mei 2013 merupakan hari kedua Ujian Nasional bagi anak-anak kita yang duduk di bangku Sekolah Dasar, begitu besar harapan mereka dapat sukses dan menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh negara tujuan mereka tak lain dapat meraih mimpi yang tiap malamnya menjadi pengantar tidur yang keluar dari bibir kedua orang tua mereka.
Negeri ini sangat kaya, bukan hanya anak-anak Negeri yang bernama Indonesia ini mengakuinya. Dunia pun mengakuinya hanya saja kekayaan itu dimanfaatkan segelintir orang untuk kepentingan pribadinya dengan mengenyampingkan acuan dari agama, moral dan budaya-budaya yang merupakan ciri khas bangsa kita.
Sejak NKRI mengumumkan Kemerdekaan pada dunia, hari ini anak-anak kita tidak lagi harus meneteskan keringat ataupun darah untuk menikmati pembangunan, tak perlu merasakan gelap dimalam hari karena jaman itu telah lama berlalu. Jika ingin belajar kapan pun bisa. Di Sulawesi Selatan jaman itu masih ada entah apa sengaja dipertahankan sebagai Kenangan Sejarah dan dokumen hidup atau memang rasa keadilan bagi seluruh Raktat Indonesia yang telah diperjuangkan pendahulu kita secara bersama-sama belum bisa dihadirkan.
Bukan sengaja atau tidak sengaja jaman itu memang masih ada dan masih cukup banyak bisa di temukan seperti di Kampung Papasaran dan Lamoro Desa Massewae Kecamatan Patampanua Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Di daerah ini semangat anak-anak negeri mengejar mimpi tak pernah padam walaupun cahaya untuk mengejar dan meraih mimpi itu selalu padam. Hasni siswa kelas IV SD Negeri 263 Lome, tak pernah merasakan bagaimana rasanya belajar menggunakan penerangan cahaya lampu listrik dimalam hari. Sejak mengenal hurup dan angka-anka dia hanya ditemani pencahayaan dari pelita yang digunakan pada saat jaman perang.
Bersama adiknya dia mengabiskan malam dan minyak pelita menyalin semua jawaban-jawaban soal yang kemungkinan akan muncul pada saat mengerjakan soal ujian masuk ke otaknya. Harapan Hasni begitu besar melanjutkan pembanguan, sebesar harapannya terhadap pemerintah agar dapat memperhatikan kampung halamannya untuk mengupayakan alat penerangan listrik. Harapan itu bukan hanya untuk diri dan keluarganya saat ini tapi demi generasi yang akan datang dalam puluhan pelajar di daerah tersebut. "Paling tidak, agar belajar kami di masa yang akan datang lebih tenang," kata Hasni.
Harapannya dengan adanya penerangan listrik tidak ada lagi hidung dan muka yang menjadi hitam setelah belajar dimalam hari yang disebabkan asap pelita menempel, belum lagi saat angin bertiup sehingga pelita yang digunakan padam. Kemungkinan banyak orang yang beranggapan khususnya yang tinggal di perkotaan mengapa anak-anak desa ini tak menggunakan waktu belajar pada sore harinya. Tentunya kehidupan anak kota dengan desa sangat jauh berbeda dimana anak-anak kota saat pulang sekolah bisa leluasa menggunakan waktu mereka jalan-jalan ke mall atau bermain game online, tapi anak-anak desa ini tidak punya fasilitas atau waktu seperti itu mereka lebih memilih mengisi waktu kosong itu dengan membantu orang tua mereka di kebun atau di sawah sebagai bentuk pengabdian seorang anak.
Sebagai wilayah NKRI tak pantaslah jika tidak ada perhatian dari pemerintah walaupun sedikit, sehingga itu sekitar empat tahun yang lalu pernah ada bantuan berupa pembangkit listrik tenaga surya, walau hanya bertahan beberapa bulan saja karena mengalami kerusakan. Sejak kerusakan alat tersebut seperti biasanya janji-janji kembali terucapkan yang ujung-ujungnya nol. Lamusu salah seorang warga bercerita pada malam hari kegiatan di kedua daerah tersebut lumpuh total karena gelap sehingga warga lebih memilih tidur lebih awal setelah makan malam.
Adapun beberapa masyarakat yang melawan "Takdir Buatan" tersebut dengan mengupayakan membeli genset untuk keperluan tertentu seperti untuk acara hajatan namun tetap menemukan kendala bahan bakarnya karena pemilik genset tidak leluasa membeli bahan bakar di SPBU karena harus terlebih dahulu mengantongi surat pengantar dari pemerintah setempat. Memang daerah ini sangat jauh dari apa yang dirasakan masyarakat perkotaan yang dengan leluasanya menikmati aliran listrik tetapi mereka tidak ketinggalan soal teknologi seperti penggunaan telepon seluler, tetapi lagi-lagi kendala yang dialami saat ingin mengisi batterainya, dimana warga harus menempuh jarak sekitar satu kiloan menuju daerah yang memiliki aliran listrik dan wajib dilakukan pada siang hari.
Kondisi yang telah lama ini, belum diketahui akan berakhir. Juru Bicara PLN Pinrang H.Bahrum mengaku belum mengetahui kapan penerangan listrik dapat di nikmati warga yang bermukim di Kampung itu "Kami belum tahu, kapan aliran listrik masuk ke wilayah itu," katanya. PR/ MAPPARENTA
EmoticonEmoticon